Dalam dunia bisnis, tidak ada jaminan bahwa kesuksesan akan bertahan selamanya. Bahkan merek-merek besar yang pernah mendominasi pasar pun bisa mengalami kemunduran dan bahkan kebangkrutan.Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya adaptasi, inovasi, dan manajemen yang tepat dalam menghadapi perubahan pasar yang cepat dan tak terduga.
Oleh karena itu, berikut adalah 5 brand ternama yang pernah mengalami masa-masa sulit dalam perjalanan bisnis mereka
1. BlackBerry: Dari Penguasa Smartphone ke Peralihan Fokus Bisnis
BlackBerry, yang dulunya dikenal sebagai Research In Motion (RIM), merupakan salah satu pionir dalam industri smartphone. Pada masa kejayaannya di tahun 2011, BlackBerry menguasai 20% pasar smartphone global. Perangkat BlackBerry terkenal dengan keyboard QWERTY fisiknya yang ikonik dan sistem pesan BlackBerry Messenger (BBM) yang sangat populer.
Namun, kehadiran iPhone dari Apple pada 2007 dan kemunculan berbagai ponsel Android mulai menggerus dominasi BlackBerry. Upaya BlackBerry untuk berinovasi dengan sistem operasi BlackBerry 10 pada 2013 tidak cukup untuk mengembalikan posisinya di pasar.
Menghadapi penurunan penjualan yang drastis, BlackBerry akhirnya memutuskan untuk berhenti memproduksi smartphone sendiri pada tahun 2016. Perusahaan ini kemudian beralih fokus ke pengembangan software dan layanan keamanan siber. Meskipun tidak lagi menjadi pemain utama di pasar smartphone, BlackBerry berhasil bertransformasi menjadi perusahaan software yang berfokus pada keamanan dan Internet of Things (IoT).
2. Nokia: Bangkit Kembali Setelah Kejatuhan
Nokia, raksasa teknologi asal Finlandia, pernah mengalami masa puncak kejayaannya di tahun 2007, Nokia menguasai hampir 50% pasar ponsel global dengan produk-produk ikonik seperti Nokia 3310 dan seri N-Gage. Perusahaan ini dikenal dengan hardware yang tangguh dan inovasi dalam teknologi seluler.
Sayangnya, Nokia terlambat merespon revolusi smartphone yang dipicu oleh iPhone dan Android. Penjualan Nokia terus menurun, hingga akhirnya divisi ponsel perusahaan ini dijual kepada Microsoft pada tahun 2013.
Namun, kisah Nokia tidak berakhir di situ. Setelah penjualan ke Microsoft, Nokia mulai fokus pada bisnis jaringan telekomunikasi. Pada tahun 2016, brand Nokia kembali ke pasar smartphone melalui kerjasama dengan HMD Global. Perusahaan ini kini memproduksi smartphone Android dengan brand Nokia, sambil terus mengembangkan teknologi jaringan 5G.
Meskipun tidak lagi mendominasi pasar seperti dulu, Nokia telah berhasil melakukan transformasi bisnis dan tetap relevan dalam industri teknologi. Fokus pada inovasi di bidang jaringan 5G dan Internet of Things (IoT) telah membantu Nokia menemukan posisi baru di pasar global.
3. Tupperware: Ikon Rumah Tangga yang berada di Ambang Kebangkrutan
Siapa yang tidak mengetahui brand Tupperware, perusahaan asal Amerika yang terkenal dengan produk wadah plastiknya, telah menjadi ikon peralatan rumah tangga selama lebih dari 75 tahun. Didirikan pada tahun 1946 oleh Earl Tupper, perusahaan ini menciptakan revolusi dalam penyimpanan makanan dengan produk plastik yang inovatif dan sistem penjualan langsung melalui "Tupperware Party".
Namun, pada tahun 2023, Tupperware menghadapi ancaman kebangkrutan yang serius. Perusahaan ini mengalami penurunan penjualan yang signifikan dan menghadapi utang yang menumpuk. Beberapa faktor penyebab kebangkrutan Tupperware antara lain:
- Perubahan perilaku konsumen, dengan lebih banyak orang yang beralih ke belanja online.
- Persaingan dari produk-produk serupa dengan harga lebih murah.
- Kurangnya inovasi dalam model bisnis dan produk.
- Alami kebangkrutan selama bertahun-tahun
- Permintaan dan penjualan anjlok
- Biaya tenaga kerja, pengiriman, dan bahan baku membengkak
Untuk mengatasi krisis ini, Tupperware sedang berusaha melakukan restrukturisasi utang dan operasional. Perusahaan ini juga berupaya untuk memodernisasi strategi pemasaran dan distribusinya, termasuk memperkuat kehadiran online dan mengembangkan produk-produk yang lebih relevan dengan model terbaru.
Meskipun menghadapi tantangan besar, Tupperware masih memiliki brand recognition yang kuat dan loyalitas konsumen yang bisa menjadi modal untuk bangkit kembali. Keberhasilan upaya restrukturisasi dan adaptasi terhadap tren pasar akan menentukan nasib perusahaan ikonik ini di masa depan.
4. Giant: Penutupan Jaringan Hypermarket di Indonesia
Giant, jaringan hypermarket yang dikelola oleh Hero Supermarket Group, pernah menjadi salah satu pemain utama dalam industri ritel modern di Indonesia. Masuk ke pasar Indonesia pada tahun 2002, Giant cepat berkembang dan menjadi pilihan utama bagi banyak konsumen untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dalam skala besar.
Namun, pada Juli 2021, Hero Supermarket Group mengambil keputusan mengejutkan untuk menutup seluruh gerai Giant di Indonesia. Keputusan ini diambil setelah Giant mengalami kerugian selama beberapa tahun berturut-turut. Beberapa faktor penyebab penutupan Giant antara lain:
- Persaingan yang semakin ketat dengan minimarket dan e-commerce.
- Perubahan perilaku belanja konsumen yang lebih memilih belanja dalam jumlah kecil namun lebih sering.
- Lokasi gerai yang kurang strategis dan biaya operasional yang tinggi.
- Kurangnya diferensiasi produk dan pengalaman belanja dibandingkan pesaing.
- Hero Group lebih fokus pada brand lain yang menjanjikan seperti: IKEA, Guardian, dan Hero Supermarket.
Penutupan Giant merupakan bagian dari strategi restrukturisasi Hero Supermarket Group untuk fokus pada format ritel yang lebih menguntungkan seperti IKEA dan Guardian. Meskipun penutupan ini berdampak signifikan pada karyawan dan ekosistem ritel, langkah ini dianggap perlu untuk mempertahankan kelangsungan bisnis grup secara keseluruhan.
5. Jamu Nyonya Meneer: Kejatuhan Ikon Jamu Tradisional Indonesia
Jamu Nyonya Meneer, produsen jamu tradisional Indonesia yang berdiri sejak 1919, merupakan salah satu merek paling dikenal dalam industri jamu. Didirikan oleh Nyonya Meneer di Semarang, perusahaan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya dan kesehatan tradisional Indonesia selama hampir seabad.
Sayangnya, pada Agustus 2017, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Jamu Nyonya Meneer pailit. Perusahaan ini tidak mampu membayar utang sebesar Rp 257 miliar kepada para kreditornya. Beberapa faktor penyebab kebangkrutan Jamu Nyonya Meneer antara lain:
- Manajemen keuangan yang buruk dan konflik internal keluarga pemilik.
- Persaingan yang semakin ketat di industri jamu dan suplemen kesehatan.
- Kurangnya inovasi dalam produk dan pemasaran untuk menarik konsumen muda.
Meskipun sempat ada upaya untuk menghidupkan kembali merek ini, hingga saat ini Jamu Nyonya Meneer belum berhasil memulihkan bisnisnya seperti sedia kala. Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya tata kelola perusahaan yang baik, inovasi berkelanjutan, dan adaptasi terhadap perubahan pasar, bahkan untuk bisnis yang telah beroperasi selama beberapa generasi.
Kejatuhan Jamu Nyonya Meneer juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan industri jamu tradisional Indonesia di tengah perubahan gaya hidup dan preferensi konsumen.
Kelima merek ini menunjukkan bahwa tidak ada perusahaan yang kebal terhadap perubahan pasar dan persaingan, tidak peduli seberapa besar atau terkenal mereka sebelumnya. Setiap kasus memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya inovasi berkelanjutan dalam produk dan model bisnis, adaptasi cepat terhadap perubahan teknologi dan perilaku konsumen dan manajemen keuangan perusahaan yang baik.
Bagi pelaku bisnis, peristiwa ini bisa menjadi peringatan sekaligus inspirasi. Peringatan bahwa kesuksesan masa lalu tidak menjamin keberhasilan di masa depan, dan inspirasi bahwa bahkan setelah mengalami kemunduran, masih ada peluang untuk bangkit kembali dengan strategi yang tepat.