Kesibukan seringkali membuat jengkel setiap orang. Tapi bagi sebagian individu kesibukan bisa menjadi pelarian yang dipilih ketika rasa sedih datang menghampiri.
Hidup ini penuh dengan aktivitas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang terus-menerus mengisi waktu. Namun, dibalik semua itu, ada cerita yang mungkin tidak diketahui oleh orang lain termasuk keluarga terdekat. Cerita tentang kehilangan dan kerinduan yang tidak pernah berhenti memberikan luka yang begitu dalam hingga seperti tidak berujung.
Ya, orang itu adalah Aku!
Aku selalu merasa bahwa hidup ini seperti sebuah perlombaan tanpa akhir. Setiap hari dimulai dengan agenda yang padat, harus pergi ke kampus, setelah itu rapat organisasi hingga larut malam, mengerjakan tugas, mengerjakan project di luar lingkup profesi ku, dan berbagai kewajiban lainnya.
Dalam keramaian dan kebisingan kesibukan ini, ada satu alasan yang selalu tersembunyi dibalik setiap tindakan dan keputusan yang aku ambil. Ada rasa takut yang sulit diucapkan dan ada kesedihan yang selama ini berusaha kuhindari.
Mama, kata yang memiliki banyak makna tersembunyi di dalamnya, sebuah panggilan yang sering aku gunakan untuk menggambarkan rasa cinta, sayang, penghormatan dan ketulusan yang tak terhingga.
Mama adalah matahari dalam hidupku, sumber kehangatan yang cahayanya tidak pernah redup menyinari setiap sudut jiwaku. Dalam setiap langkahku, mama senantiasa memberikan dukungan dan cinta tanpa imbalan. Namun, suatu hari, segalanya berubah.
Mama pergi, meninggalkan dunia ini karena sakit jantung yang mendadak mengambilnya dari ku. Kabar itu datang seperti petir di siang bolong, menghancurkan hati, mimpi, dan membuat ku benci pada diri sendiri.
Kehilangan mama adalah luka paling dalam yang pernah kurasakan. Rasa sakit itu begitu menyiksa, menghancurkan, dan seakan-akan tidak ada obatnya. Mungkin ini terdengar lumrah atau lebay, tapi ini benar adanya bahkan mungkin rasanya lebih menyedihkan dari yang diutarakan lewat kata-kata.
Jika diingat kembali, aku hanya seorang anak perempuan yang saat itu mengira bahwa mama akan hidup selamanya dengan ku, mama akan terus sehat, mama akan terus tertawa bersama ku, dan mama akan terus mengusap rambutku saat aku tertidur pulas.
Dalam upaya untuk bertahan, aku mulai menyibukkan diri. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiranku. Kota dengan banyak kenangan manis bersama mama, namun kota itu juga yang jadi tempat terjadinya peristiwa kepergian mama.
Aku memang masih bertekad untuk berkuliah dan mengejar mimpi, tapi jika masih ada mama tentu saja aku tidak ingin jauh darinya. Secara aku adalah anak yang takut bertemu manusia, anak yang mudah menangis, mudah menyerah dan sangat perasa. Keputusan melanjutkan pendidikan keluar kota menjadi pelarian terbaikku, satu-satunya cara untuk mengalihkan pikiran dari rasa sakit yang terus menghantui.
Setiap pagi, di kota besar ini aku bangun dengan semangat untuk menenggelamkan diri dalam kesibukan. Namun, ketika malam tiba dan kesunyian mulai menyelimuti, kesedihan itu kembali menyapa. Aku teringat akan senyum mama, nasihat-nasihat bijaknya, dan kelembutan usapannya yang tak akan pernah kurasakan lagi. Hanya kenangan yang tersisa, dan itu tidaklah cukup untuk menghapus kerinduan ini.
Pertama kali menginjakkan kaki di kota orang rasa menyesal kian datang bersama sedih. Perasaan bahwa diri ini begitu kecil untuk kota yang mungkin akan sangat kejam pada penghuni barunya. Aku terus mencoba memaksakan diri membaur bersama orang-orang baru meski akhirnya aku selalu menangis karena tidak tahu harus menceritakan rasa ketidak nyamananku pada siapa saat berada di lingkungan baru.
Namun, semakin hari aku semakin merasa bahwa sepertinya kota yang aku pilih memang tepat untuk bisa kucoba zona kesibukannya. Tapi seringkali, dalam kebisingan dan kesibukkan yang aku jalani, tetap saja aku merasakan kehampaan yang tak terjelaskan. Di balik tawa dan obrolan dengan teman-teman sejawatku, ada ruang kosong di hati yang tidak bisa diisi oleh apa pun.
Aku tersadar bahwa kesibukan hanyalah ilusi, sebuah tirai yang aku ciptakan untuk menutupi rasa sakit yang sebenarnya. Di tengah malam yang sunyi, ketika segala aktivitas berhenti, aku merasakan kehampaan itu terus menghampiri.
Aku masih ingat hari-hari terakhir bersama mama. Waktu itu, mama tampak lebih lemah dari biasanya, namun semangatnya tidak pernah pudar. Meski sambil menahan sesak di dada yang begitu sakit saat aku lihat ekspresinya, mama masih sempat-sempatnya menyiapkan bekal sekolah untuk ku. Bekal yang berisi telur mata sapi setengah matang kesukaan ku, tidak lupa susu putih hangat yang selalu lupa ku minum dan mama dengan sigapnya berlari kearah ku hanya untuk sekedar memberi segelas susu putih itu.
Mama selalu berusaha tersenyum dan memberikan kekuatan, meskipun aku tahu mama sedang berjuang melawan rasa sakit yang luar biasa. Hari-hari itu, aku merasa begitu tak berdaya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaannya. Jika aku memiliki kekuatan menghirup rasa sakit mungkin sudah aku limpahkan semuanya ke tubuhku agar mama tetap baik-baik saja.
Namun, keajaiban itu tidak pernah datang. Mama pergi, meninggalkan luka besar dalam hidupku. Setelah kepergiannya, aku merasakan duniaku runtuh. Segala sesuatu tampak tidak berarti lagi. Aku berusaha keras untuk tetap kuat menjalani hidup seperti biasa, tetapi kenyataanya hidupku tidak pernah seberwarna saat masih ada mama.
Hari demi hari aku lewati meski rasanya seperti patah kaki. Aku tidak hentinya menenggelamkan diri dalam kesibukan. Aku mengambil lebih banyak kegiatan, mengerjakan lebih banyak tugas, dan mencoba mengisi setiap detik waktuku dengan aktivitas. Aku berpikir bahwa jika aku tetap sibuk, aku tidak akan punya waktu untuk merasa sedih. Namun, semakin aku menyibukkan diri, semakin aku merasa hampa.
Ada saat-saat ketika aku merasa begitu lelah, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara emosional. Aku merindukan mama dengan masakan lezatnya setiap waktu. Setiap kali aku mencapai sesuatu yang besar, aku ingin sekali bisa memberikan kebahagiaan itu dengannya.
Setiap kali aku menghadapi masalah, aku berharap bisa mendengar nasihat bijaknya, dan setiap kali aku melihat anak kecil yang diberi sesuap nasi dari tangan mamanya, aku selalu berharap bahwa aku bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan tangan tulusnya menyuapiku sekali lagi.
Hingga ada masanya dimana aku berada pada satu malam yang mengubah pandanganku. Malam itu, aku beraktivitas hingga larut seperti biasa. Saat aku hendak pulang, aku melihat selembar foto mama yang aku simpan di rak buku ku. Dalam foto itu, mama tersenyum dengan hangat, seolah-olah memberikan kekuatan yang selalu aku butuhkan. Aku duduk dan merenung, air mata mulai mengalir tanpa bisa aku hentikan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku membiarkan diriku merasakan kesedihan yang selama ini aku hindari.
Malam itu juga, aku menyadari bahwa aku tidak bisa terus berlari dari kenyataan. Kesedihan adalah bagian dari proses penyembuhan. Aku harus belajar menerima kenyataan bahwa mama telah pergi dan tidak ada yang bisa mengubah itu.
Namun, aku juga harus belajar bahwa meskipun mama tidak lagi hadir secara fisik, kenangannya akan selalu hidup dalam hatiku.
Mama ada dalam cara aku mencintai, dalam cara aku memperlakukan orang lain, dan dalam cara aku menjalani hidup.
Kemudian sejak malam itu, aku mulai mencoba untuk lebih jujur pada diriku sendiri. Aku masih sibuk dengan semua tugasku, tetapi aku juga memberikan waktu untuk merasakan dan menghadapi emosiku. Aku mulai menulis tentang kenangan bersama mama kedalam diksi-diksi sederhana, tentang hal-hal kecil yang selalu membuatku merasa dekat dengannya.
Tidak mudah untuk menghadapi kehilangan. Ada hari-hari di mana rasa sakit itu begitu kuat sehingga aku merasa tidak sanggup untuk terus berjalan. Namun, aku tahu bahwa mama tidak ingin melihatku menderita. Mama selalu ingin yang terbaik untukku, dan aku harus berusaha untuk hidup dengan cara yang akan membuatnya bangga.
Kesibukan masih menjadi bagian besar dari hidupku, tetapi aku tidak lagi menggunakannya sebagai pelarian. Aku belajar bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak, untuk merasakan kesedihan, dan untuk menangis. Dalam setiap tetes air mata, aku menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Hidup dalam bayang-bayang kesibukan tidak akan menghapus rasa kehilangan ini. Tetapi, dengan menerima dan menghadapi kesedihan itu, aku berharap dapat menemukan cara untuk merayakan hidup yang lebih baik. Mungkin, di balik semua kesibukan ini, aku akan menemukan kedamaian yang selama ini kucari, dan membawa ku pada mimpi yang selama ini aku obrolkan dengan mama.
Meskipun mama telah tiada, cintanya tetap hidup dalam diriku. Aku akan terus bekerja keras, bukan untuk menghindari rasa sakit, tetapi untuk menjalani hidup yang harus kembali berwarna.