Menjadi
mahasiswa di era digital saat ini tidak hanya dituntut untuk memiliki nilai
akademis yang memuaskan atau meraih prestasi dibidang non akademik yang
gemilang. Faktanya, saat hendak melamar pekerjaan banyak perusahaan kini
melakukan pengecekan menyeluruh terhadap media sosial calon karyawan mereka,
termasuk para freshgraduate yang baru saja menyelesaikan studinya. LinkedIn,
Instagram, bahkan Facebook menjadi "CV digital" yang tak kalah
pentingnya dari transkrip nilai.
Fenomena
ini mendorong banyak mahasiswa untuk berlomba-lomba membangun personal branding
di media sosial. Namun, dalam upaya menciptakan citra diri yang
"marketable", tidak jarang mahasiswa terjebak dalam budaya flexing atau
memamerkan gaya hidup dan pencapaian yang sebenarnya tidak sesuai dengan
kenyataan.
Apasih
Personal Branding itu?
Personal
branding adalah cara seseorang mempromosikan dan
membangun citra dirinya sendiri sebagai brand. Proses ini melibatkan penggunaan
strategi pemasaran untuk mengembangkan dan mempertahankan identitas yang unik serta
positif dalam benak orang lain.
Tujuan personal
branding adalah untuk membangun kesan positif seseorang terhadap diri
sendiri, serta meningkatkan kredibilitas, koneksi, dan peluang di masa depan.
Dalam dunia profesional, personal branding menentukan posisi seseorang di
tempat kerja, seberapa berpengaruh suaranya untuk didengar, dan masih banyak
lagi.
Apasih Flexing Itu?
Sementara
itu, Menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah tindakan
untuk menunjukkan sesuatu yang kalian miliki atau raih, akan tetapi dengan cara
yang dianggap orang lain tak menyenangkan. Lalu, menurut kamus Merriam
Webster, flexing adalah tindakan memamerkan sesuatu yang
dimiliki secara pribadi dengan cara lebih mencolok.
Kedua
definisi ini menyoroti cara pamer yang berlebihan dan dramatis, di mana
individu menampilkan kekayaan atau pencapaian mereka secara mencolok untuk
menarik perhatian dan mengesankan orang lain.
Istilah
flexing sendiri pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di
bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic
Study in the Evolution of Institutions.
Menurut
sebuah survei yang dikatakan oleh Apollo Technical 70% manajer mengatakan
mereka berhasil merekrut kandidat melalui media sosial. Hal ini sangat masuk
akal karena di sanalah para kandidat milenial kini ditemukan.
Kemudian,
Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2020 terhadap 1.005 pembuat keputusan
perekrutan oleh jajak pendapat Harris menemukan bahwa 67% pemberi kerja
menggunakan situs media sosial untuk meneliti calon kandidat pekerjaan dan 70%
pengusaha dalam survei yang sama juga percaya bahwa setiap perusahaan harus
menyaring profil media sosial kandidat potensial saat mempertimbangkan mereka
untuk peluang kerja.
Hal
ini membuat mahasiswa semakin sadar akan pentingnya membangun personal
branding yang kuat dan positif di media sosial. Sayangnya, usaha untuk
membangun personal branding ini sering kali menjerumuskan
mahasiswa ke dalam budaya flexing, di mana mereka memamerkan
hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan hanya untuk terlihat
lebih baik di mata orang lain.
Ciri-ciri
mahasiswa yang bersembunyi di balik branding, padahal flexing
Lalu,
bagaimana kita bisa membedakan antara upaya membangun personal branding yang
sehat dengan perilaku flexing yang berlebihan? Berikut adalah
ciri-ciri mahasiswa yang sebenarnya bersembunyi di balik branding, padahal
sebenarnya flexing:
1. Tidak
adanya ke konsistenan antara konten di media sosial dan Realitas kehidupan
Mahasiswa yang terjebak dalam flexing sering kali mengunggah konten yang jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, mereka mungkin memposting foto-foto di restoran mewah atau tempat liburan eksotis, padahal sebenarnya mereka masih bergantung pada uang saku dari orang tua. Inkonsistensi ini bukan hanya membuat personal branding menjadi tidak autentik, tetapi juga dapat merusak kredibilitas jangka panjang.
2. Kebanyakan
Memposting Konten Tidak penting
Mahasiswa yang benar-benar membangun personal branding akan memiliki konten yang mencerminkan keahlian, minat, atau passion mereka. Sebaliknya, mereka yang hanya flexing cenderung memiliki feed yang dangkal, hanya berisi foto-foto gaya hidup tanpa memberikan nilai tambah bagi followers mereka.
3. Obsesi
Berlebihan terhadap respon yang diberikan Pengguna Media Sosial lain
Fokus
yang terlalu besar pada jumlah likes, followers, atau engagement
rate bisa menjadi tanda bahwa seorang mahasiswa lebih mementingkan
popularitas. Mereka mungkin rela melakukan apa saja, termasuk membeli followers atau
menggunakan taktik clickbait, demi meningkatkan angka-angka
tersebut. Padahal, personal branding yang efektif seharusnya
lebih menekankan pada kualitas konten dan interaksi yang bermakna.
4. Menampilkan
Kehidupan Akademik yang Ideal
Mahasiswa
yang flexing mungkin juga melebih-lebihkan prestasi akademik
mereka. Mereka sering kali memposting tentang nilai sempurna, penghargaan, atau
proyek yang sukses, padahal kenyataannya tidak seindah yang ditampilkan. Mereka
berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah mahasiswa yang sangat berprestasi dan
kompeten.
Penting
bagi kita untuk memahami bahwa membangun personal branding bukanlah
tentang menciptakan persona palsu atau bergaya hidup di luar kemampuan
kita. Personal branding yang efektif dan berkelanjutan harus
didasarkan pada keaslian, dan Kemampuan yang sesungguhnya dimiliki.
Mahasiswa
perlu menyadari bahwa perusahaan dan recruiter saat ini
semakin cerdas dalam mengevaluasi calon karyawan. Mereka tidak hanya melihat
"apa" yang di-posting, tetapi juga "bagaimana" seseorang
berinteraksi di dunia yang sebenarnya.
Mari kita ingat bahwa tujuan utama dari personal branding bukanlah untuk mengesankan orang lain, tetapi untuk mengekspresikan potensi terbaik diri kita. Dengan fokus pada pengembangan diri yang positif dan berbagi pengetahuan atau keterampilan yang bermanfaat, kita dapat membangun personal branding yang tidak hanya menarik bagi perusahaan, tetapi juga membawa dampak positif bagi masyarakat luas.